Cerpen Basyar Dikuraisyin
”Mba, biarkan aku ngaot garam, mengurangi beban dipundak Mba”. Pintaku suatu sore yang gamang. Aku tidak tega melihat tubuh Mba yang tinggal kulit dan tonjolan tulang tua, terus-terusan dikejar gaji. Berangkat pagi dan pulang ketika mega-mega merah mulai merambah diufuk barat. Wajah lesu dan tanpak hangus dibakar surya menyempul dari perawakannya. Makan cuma sekali sehari, itupun nasi dan tempe seadanya, sementara kerja mengaot garam tidak kenal henti. Hanya panggilan Tuhan menjadi penyejuk jiwa yang luka.
Sudah dua hari ini, Mba mengeluh sakit seluruh badan, seperti habis dikeroyok lebah. Tapi beliau masih ngotot kerja, dengan alasan takut dimarahi bapak mantre. Yang nantinya akan mengurangi gaji tiap minggunya. Sebegitukah penting uang ditimbang kesehatan? Atau.. akukah yang terlalu dini untuk memahami gelanggang pikiran orang tua, kurasa tidak, sudahlah…..
Cung, sekolah dulu sampai tinggi, kerja jangan dipikirkan. Ucapnya ketus. Wajahnya pucat basi. Diam. Sunyi. Sepi.
Aku menyelam dalam kedalaman samudra hayal. Seusia Mba, kira 72 tahunan, masih saja memikirkan sekolah, bekerja bukan untuk kepentingan dirinya. Aroma nasi dan panggang ikan mujair, masih diurutan berapa dikamus Mba, mulai dulu hingga aku mahasiswa, selalu sekolah, sekolah dan sekolah. Tidak ada yang lain. Padahal belum tentu orang sekolah itu masuk surga, dan dapat kerja yang pantas. Kalau berkerja garam, lebih dekat kesurga karena memberikan rasa pada orang lain, sementara sekolah ? kan Cuma memakan uang, nanti ujung-ujungnya pasti kembali ke uang. Apalagi keluarga seperti aku, bapak sudah mangkat, ibu sibuk didapur dan yang lain pada kerja kejakarta. Yah…
Malam merengsek mengubur hidup dalam mimpi, menghampar sutra pada dengkungan burung malam. Lampu neon kuning menyoroti jalan linglung anak kucing yang baru mencium dunia, dipunggungnya lilitan perro’ dan darah kehitaman masih terlihat jelas. Tidak ada manusiapun mencengkram diri dengan alam, mereka terlelap dalam dunianya masing-masing. Dikampungku, pukul delapan malam, sudah seperti kuburan, sepi. Hanya nyanyian burung batu menguak-nguak dan pancaran sinar kunang-kunang memecah kegalutan petang. Akupun mengikuti jejak mereka, merendam diri, ikut tertimbun batu.
***
Dengan sedikit pucat, Mba mengambil sepatu andalan lengkap kaos kaki putih setinggi betis beserta caddheng. Disakunya sebotol aqua berisi kopi, melintang dilehernya, ia siap-siap menyetir kembali hidup. Buru-buru dikayuhnya sepeda ontel tua seumur kemerdekaan Negara kita, lamban tapi meyakinkan. Aku dan ibu hanya bisa diam, karena Mba telah terlihat sehat seperti biasa. Entah sesuci apa hatinya, hingga menantang terik dan melawan sakit demi membiayai sekolah dan mengisi dapur. Lirih-lirih aku tertegun dalam ucapan, engkaulah pahlawan yang sesungguhnya.
Dari timur, matahari mulai mengibaskan percikan sinarnya, melulurkan getah dibadan hingga membasahi kaos para pekerja. Lalu-lalang banyak masyarakat yang menggantungkan hidup pada pekerjaan ini, ketika musim kemarau datang. Nampak jelas, deretan sepeda ontel disepanjang jalan menuju Gapura. Aktivitas ini, sudah warisan orang tua dulu, hingga geneasi sekarang masih ditekuni. Menurut cerita, semua talangan garam yang terbentang didekat desa Gersik Putih adalah milik masyarakat setempat, tapi pemerintah mengambil hak, dan mempekerjakan masyarakat dengan gaji dibawa standart. Yah… wong masyarakat rata-rata awam, mau saja ditipu. Padahal jika garam itu dikolola sendiri, bisa mendapat sepuluh kali lipat dari yang sekarang. Dasar……
Sayup-sayup suara kaki berlari mendekatiku, seorang anak kecil berumur 2 tahunan, mengunyah permen karet.
”Kak, Mbamu rubuh didekat jembatan”. Dar… aku bangun dari lamunan dan segera berlari. Panas, kakiku menginjak tanah sangat panas, padahal didalam desa yang dikelilingi pohon pelembang. Bagaimana ditengah talangan yang hanya ada warung kecil terbuat dari daun kelapa.
Kening Mba panas, dan kakinya dingin. Itulah kini, yang menimpa badan kurus Mba. Rupanya, perawatan dirumah masih belum manjur. Apakah harus dibawa kerumah sakit, ya Allah jangan sampai terjadi. Biaya makan sangat pelik didapat, ditaMba biaya rumah sakit yang mahal. Andaikan ada rumah sakit yang gratis, Pasti orang sakit yang ajalnya masih jauh terkurangi. Memang aneh, orang yang sudah sakit, masih disakiti.
”Mba, istirahat terus sampai kekuatan Mba benar-benar pulih total. Kesehatan Mba Jangan dijual, kesehatan itu mahal. Dan banyak orang yang merugikan diri sendiri”. Kucurahkan keluhan yang tertimbun enggan.
”Cung, dari mana kamu dapat biaya makan dan sekolah, jika Mba tidak bekerja”. Suara itu serak, namun mengiris hati.
”Apa pemerintah menjamin semuanya, malah yang mereka tahu menyiksa rakyatnya”. Lanjutnya sedikit meninggi.
”Jangan berucap seperti itu, Mba. Mereka kan telah memerdekaan Negara kita. Hingga kita terbebas dari penjajahan”. Kucoba mencari jawaban yang singkat.
”Alah.. bukan mereka yang menyelamatkan bangsa ini, tapi para pahlawan dulu. Mereka bisanya menaMba penyakit. Buktinya, rakyat susah. Eh…barang-barang dinaikan berlipat-lipat, banyak rumah digusur untuk dibangun departemen. Setelah berdiri, dikuasai Negara lain”. Mba mulai nyerocos. Aku tidak tau dari mana orang setua Mba mengetahui masalah Negara. Mungkin budaya ngopi diwarung-warung.
”Negara telah memberi bantuan untuk orang miskin”. Kucelupkan kain basah hangat kekeningnya.
”Orang miskin yang mana, wong seperti kita diacuhkan, sementara si Rahmat yang sudah menjadi mentre tercatat keluarga miskin. Gajinya diatas 500 rebu perbulan. Mba hanya 90 rebu tiap minggunya. Ini, yang sebut bantuan untuk simiskin?”. Aku kehabisan kata.
”Sudah lah cung, dunia sudah rusak. Pemimpinnya banyak tidur pagi. Makanya jauh dari rizqi, tak dapat yang halal, eh, ngambil milik orang lain. Dulu, ketika Mba masih seusia kamu, kerupuk harganya 50 rupiah dapat 12 kerupuk, sekarang 100 rupiah dapat 1 kerupuk. Kita ini sebenarnya dijajah ya..?”” Kami diam, sepi. Biarkan pertanyaan itu, singgah ditempatnya.
###
Dengan menggendong segudang rundung penyesalan, menahan buncahan amarah, kulesatkan diriku mengikuti arus pagi menelusuri desa Gersik Putih disisi jalan. Tak jarang kulemparkan senyum persaudaraan untuk jiwa yang lembut hatinya, pekerja garam itu mulai merangkak menceburkan kaki. Suara sapa menyapa terus bersahutan menambal derita pagi yang dibungkus senyum palsu.
Sinar surya semakin membuas, memaksa tangan menutupi kening. Sayup-sayup sebungkus suara menelisik mengikuti sepanjang jalan. Rupanya mantre berbaju resmi warna biru, sedang mengawasi pekerja. Giat sekali mereka, seakan tidak mempedulikan teguran matahari supaya berlindung. Setapak mantre itu melangkah disitulah ia menengok lembaran rapi seperti absensi. Benar, memang ia sedang mengabsen. Sama seperti anak sekolah saja..
Tiga puluh menit berlalu sang mantre sudah beranjak dari tempat bekerja, kuurungkan niat kembali kerumah karena saking panasnya.
”Pak, sudah ditinggal pekerja garam itu.?” Wajahku sedikit mengerut.
”Kerjaan sudah selesai Nak”. Jawabnya enteng.
”Kalau mereka ada yang pulang, gimana?”.
”Bukan urusan saya. Gitu aja kok repot”.
”Gaji bapak berapa.? Pasti diatas mereka kan?”.
”Kamu perlu apa?”
”Pak, kita sudah lepas dari kaum penjajah, sekarang kita merdeka. Coba kalau bapak ganti pakaian sebagai pekerja garam, apakah bapak mau digaji dibawah 100 ribu per minggu, apakah gaji segitu bisa membiayai anak dan istri bapak?”
”Itu kan urusan mereka, mereka mau digaji seperti itu. Tidak ada yang mengeluh”.
”Itu kan hanya pikiran enak bapak, mereka dijemur diterik matahari setiap hari tanpa istirahat, sementara bapak hanya nyorat-nyoret setelah itu pergi. Apakah bapak tidak mempunyai hati? Bisakah bapak makan enak tanpa garam. Seharusnya gaji mereka diatas pemerintah yang hanya duduk-duduk dikursi empuk”. Mantre itu, ngeloyor pergi, wajahnya kaku dan pucat.
”Sungguh sulit mencari hati yang bersih di zaman sekarang”. Cetusku.
Belum sempat ayam berkokok puas, hujan deras mengguyur pagi, menjadikan pagi terbungkus malam hingga urat syaraf yang biasanya dipaksa bergerak, kehilangan langkah. Sepi, sangat sepi hari ini. Memang sekarang cuaca tidak menentu, sudah delapan bulan tidak hujan, dan dapat dikatakan sangat tidak mungkin hujan akan turun pada bulan ini, tapi tak disangka tanpa terlihat datang hujan deras.
Hujan itu tinggal gerimis, saat matahari menampakan sayapnya. Tapi, suasana ditempat kerja garam tetap sepi. Lambat laun, kuhampiri Mba, dia menitiskan air mata.
”Mba, sampean menangis?”.
”Tidak”.
”Lalu kenapa Mba biarkan air mata menetes?”
”Cung, garam adalah sumber kehidupan masyarakat satu-satunya pekerjaan disini”. Mba menghentikan tangisnya. Aku mengerti kemana arah keluhan itu. Garam dibabat habis oleh hujan malam. Masyarakat kami, hanya bisa pasrah pada keadaaan. Rabb engkaulah pelabuhan hati.
Caddheng : Alat penutup kepala yang lebar.
Talangan : tampat segi empat yang berfungsi membuat garam.