Selasa, 22 Maret 2011

Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Se-DIY

Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Sunan Kalijaga 2010/2011

Selamat Datang, Ahlan Wa Sahlan di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun akademik 2011/2012 UIN Sunan Kalijaga merencanakan seleksi Calon Mahasiswa Baru dengan membuka jalur, yaitu :

  1. SNMPTN (Info Lengkap)
    • Jalur Undangan
    • Jalur Ujian Tulis
  2. Bidik Misi (Info Lengkap)
  3. SPMB PTAIN (Info Lengkap)
  4. PMB Internal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (pmb.uin-suka.ac.id)
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Ketua Admisi
Dr. Munawar Ahmad, M.Si.


Untuk UGM klik: http://um1.ugm.ac.id

Untuk UNY klik: http://pmb2011.uny.ac.id/


Innalillah Pemuda...!!!

Oleh: Herman Wahyudi
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Yogyakarta)

Beberapa bulan terakhir orgaisasi pemuda Persatuan Pemuda Gersik Putih (PPGP) terlihat dinamis. Sejak kemuculannya, meskipun sedikit kotroversial, PPGP bisa dikatakan cukup agregat dalam memperjuangkan hak hak masyarakat Gersik Putih yang di rampas (katakanlah begitu) oleh para penguasa. Inilah yang mungkin patut kita acungi jempol dari PPGP 

Pada perkembangannya, PPGP pun mulai merancang agenda-agenda perjuangan untuk masyarakat dengan (terlebih dahulu) mengupayakan legalisasi sebagai organisasi pemuda. Bahkan dalam celoteh sebagian pemuda PPGP; "PPGP jadi LSM saja," sungguh, merupakan bentuk aktualisasi pemuda gersik putih yang (lagi-lagi) patut kita acungi jempol. Hingga sekarang AD/ART PPGP termasuk lambang sudah dibuat sekalipun masih dalam bentuk yang belum sempurna. Pertnyaannya, siapkah PPGP dengan langkah yang satu ini? menjadikan PPGP sebagai organisasi yang punya legalitas sebagai organisasi pemuda yang mapan? atau jangan-jangan, ini tak ubahnya semangat pemuda yang hanya terjadi pada -meminjam bahasam tokoh kaum kapitalis Gersik Putih, Baim Oizumi- ledakan sesaat?

Pemuda memang cukup luar biasa dimata masyarakat, sejarah membuktikan itu. Bahkan dari saking istimewanya sosok pemuda, Proklamator sekaligus Presiden pertama RI, Ir Soekarno dengan pe-denya menagatakan, "beri aku sepuluh orang pemuda, akan ku guncang dunia." Lihatlah, dengan sepuluh orang pemuda saja dunia akan diguncang -sekalipun memang bahasa ini terlalu hiperbolis. Ini spirit idealisme yang harus diambil oleh kalangan pemuda. Maka lantanglah penulis berkata: "Beri aku semua pemuda Gersik Putih, Maka Gersik Putih sungguh akan terguncang."

Tapi ingatlah, bahwa yang dimaksud oleh Soekarno itu bukanlah "sembarang pemuda". Tapi pemuda yang "berani", visioner, dan punya landasan idealisme yang kuat. Diakui atau tidak, kapitalisme, hedonisme dan isme-isme yang lain sesungguhya muncul dan memawabah karena idealisme sudah menjadi barang mahal. Berani saja tidak cukup, berani ibarat kita berlayar tanpa kemudi. Hanya akan berputar-putar ditengah keberanian yang kita ciptakan. Ketika angin kapitalisme datang, kita akan dengan terpaksa tidak punya pilihan kecuali menerima terjangan angin tersebut. Maka, masihkah pemuda hanya berpacu dengan romantisme keberanian? Innalillah pemuda...

(bersambung)

Jumat, 04 Februari 2011

'Belajarlah dari Messi, Ronaldo'

Pamplona - Soal skill individu, mungkin Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi sama-sama hebat dan salah satu yang terbaik di dunia. Tapi soal sikap, Ronaldo diminta untuk belajar dari Messi.

Permintaan tersebut dilontarkan oleh striker Osasuna, Walter Pandiani. Pandiani mengomentari sikap Ronaldo pasca Real Madrid dipermalukan 0-1 oleh Los Rojillos, Senin (31/1/2011) dinihari WIB.

Dalam laga tersebut, Pandiani diketahui sempat bersitegang dengan Ronaldo. Kabarnya, Pandiani marah karena Ronaldo menanyakan berapa gaji yang dia dapat di Osasuna dengan nada melecehkan.

Pandiani pun meminta pemain asal Portugal itu untuk tidak bersikap angkuh dan sombong. Apalagi Ronaldo belum meraih trofi apa pun selama bermukim di Santiago Bernabeu.

"Anda harus lebih rendah hati. Kalau Anda sudah memenangkan Piala Super Spanyol dan Copa del Rey, seperti yang pernah saya dapat, maka saya akan mendengarkan Anda," sindir Pandiani, seperti dikutip Soccernet.

"Sebagai pesepakbola, Ronaldo memang fenomenal. Tetapi, melihat kelakuannya, dia tak ada bedanya dengan orang congkak rendahan. Dengan gerakan dan akting congkaknya, dia selalu menimbulkan masalah tiap pekan," lanjut striker 34 tahun itu.

Pandiani menyarankan Ronaldo untuk meniru sikap bintang Barcelona, Lionel Messi. Messi selama ini memang dikenal sebagai pemain yang tak terlalu banyak bicara di luar lapangan.

"Apa yang harus dilakukan Cristiano Ronaldo adalah belajar dari Lionel Messi dan meninggalkan sikap sombongnya," tuntas eks pemain Deportivo La Coruna ini. ( Detik.com )

Senin, 31 Januari 2011

KISAH PULAU GARAM

Cerpen Basyar Dikuraisyin

”Mba, biarkan aku ngaot garam, mengurangi beban dipundak Mba”. Pintaku suatu sore yang gamang. Aku tidak tega melihat tubuh Mba yang tinggal kulit dan tonjolan tulang tua, terus-terusan dikejar gaji. Berangkat pagi dan pulang ketika mega-mega merah mulai merambah diufuk barat. Wajah lesu dan tanpak hangus dibakar surya menyempul dari perawakannya. Makan cuma sekali sehari, itupun nasi dan tempe seadanya, sementara kerja mengaot garam tidak kenal henti. Hanya panggilan Tuhan menjadi penyejuk jiwa yang luka.
Sudah dua hari ini, Mba mengeluh sakit seluruh badan, seperti habis dikeroyok lebah. Tapi beliau masih ngotot kerja, dengan alasan takut dimarahi bapak mantre. Yang nantinya akan mengurangi gaji tiap minggunya. Sebegitukah penting uang ditimbang kesehatan? Atau.. akukah yang terlalu dini untuk memahami gelanggang pikiran orang tua, kurasa tidak, sudahlah…..
Cung, sekolah dulu sampai tinggi, kerja jangan dipikirkan. Ucapnya ketus. Wajahnya pucat basi. Diam. Sunyi. Sepi.
Aku menyelam dalam kedalaman samudra hayal. Seusia Mba, kira 72 tahunan, masih saja memikirkan sekolah, bekerja bukan untuk kepentingan dirinya. Aroma nasi dan panggang ikan mujair, masih diurutan berapa dikamus Mba, mulai dulu hingga aku mahasiswa, selalu sekolah, sekolah dan sekolah. Tidak ada yang lain. Padahal belum tentu orang sekolah itu masuk surga, dan dapat kerja yang pantas. Kalau berkerja garam, lebih dekat kesurga karena memberikan rasa pada orang lain, sementara sekolah ? kan Cuma memakan uang, nanti ujung-ujungnya pasti kembali ke uang. Apalagi keluarga seperti aku, bapak sudah mangkat, ibu sibuk didapur dan yang lain pada kerja kejakarta. Yah…
Malam merengsek mengubur hidup dalam mimpi, menghampar sutra pada dengkungan burung malam. Lampu neon kuning menyoroti jalan linglung anak kucing yang baru mencium dunia, dipunggungnya lilitan perro’ dan darah kehitaman masih terlihat jelas. Tidak ada manusiapun mencengkram diri dengan alam, mereka terlelap dalam dunianya masing-masing. Dikampungku, pukul delapan malam, sudah seperti kuburan, sepi. Hanya nyanyian burung batu menguak-nguak dan pancaran sinar kunang-kunang  memecah kegalutan petang. Akupun mengikuti jejak mereka, merendam diri, ikut tertimbun batu.
***
Dengan sedikit pucat, Mba mengambil sepatu andalan lengkap kaos kaki putih setinggi betis beserta caddheng. Disakunya sebotol aqua berisi kopi, melintang dilehernya, ia siap-siap menyetir kembali hidup. Buru-buru dikayuhnya sepeda ontel tua seumur kemerdekaan Negara kita, lamban tapi meyakinkan. Aku dan ibu hanya bisa diam, karena Mba telah terlihat sehat seperti biasa. Entah sesuci apa hatinya, hingga menantang terik dan melawan sakit demi membiayai sekolah dan mengisi dapur. Lirih-lirih aku tertegun dalam ucapan, engkaulah pahlawan yang sesungguhnya.
Dari timur, matahari mulai mengibaskan percikan sinarnya, melulurkan getah dibadan hingga membasahi kaos para pekerja. Lalu-lalang banyak masyarakat yang menggantungkan hidup pada pekerjaan ini, ketika musim kemarau datang. Nampak jelas, deretan sepeda ontel disepanjang  jalan menuju Gapura. Aktivitas ini, sudah warisan orang tua dulu, hingga geneasi sekarang masih ditekuni. Menurut cerita, semua talangan garam yang terbentang didekat desa Gersik Putih adalah milik masyarakat setempat, tapi pemerintah mengambil hak, dan mempekerjakan masyarakat dengan gaji dibawa standart. Yah… wong masyarakat rata-rata awam, mau saja ditipu. Padahal jika garam itu dikolola sendiri, bisa mendapat sepuluh kali lipat dari yang sekarang. Dasar……
Sayup-sayup suara kaki berlari mendekatiku, seorang anak kecil berumur 2 tahunan, mengunyah permen karet.
”Kak, Mbamu rubuh didekat jembatan”. Dar… aku bangun dari lamunan dan segera berlari. Panas, kakiku menginjak tanah sangat panas, padahal didalam desa yang dikelilingi pohon pelembang. Bagaimana ditengah talangan yang hanya ada warung kecil terbuat dari daun kelapa.
Kening Mba panas, dan kakinya dingin. Itulah kini, yang menimpa badan kurus Mba. Rupanya, perawatan dirumah masih belum manjur. Apakah harus dibawa kerumah sakit, ya Allah jangan sampai terjadi. Biaya makan sangat pelik didapat, ditaMba biaya rumah sakit yang mahal. Andaikan ada rumah sakit yang gratis, Pasti orang sakit yang ajalnya masih jauh terkurangi. Memang aneh, orang yang sudah sakit, masih disakiti.
”Mba, istirahat terus sampai kekuatan Mba benar-benar pulih total. Kesehatan Mba Jangan dijual, kesehatan itu mahal. Dan banyak orang yang merugikan diri sendiri”. Kucurahkan keluhan yang tertimbun enggan.
”Cung, dari mana kamu dapat biaya makan dan sekolah, jika Mba tidak bekerja”. Suara itu serak, namun mengiris hati.
”Apa pemerintah menjamin semuanya, malah yang mereka tahu menyiksa rakyatnya”. Lanjutnya sedikit meninggi.
”Jangan berucap seperti itu, Mba. Mereka kan telah memerdekaan Negara kita. Hingga kita terbebas dari penjajahan”. Kucoba mencari jawaban yang singkat.
”Alah.. bukan mereka yang menyelamatkan bangsa ini, tapi para pahlawan dulu. Mereka bisanya menaMba penyakit. Buktinya, rakyat susah. Eh…barang-barang dinaikan berlipat-lipat, banyak rumah digusur untuk dibangun departemen. Setelah berdiri, dikuasai Negara lain”. Mba mulai nyerocos. Aku tidak tau dari mana orang setua Mba mengetahui masalah Negara. Mungkin budaya ngopi diwarung-warung.
”Negara telah memberi bantuan untuk orang miskin”. Kucelupkan kain basah hangat kekeningnya.
”Orang miskin yang mana, wong seperti kita diacuhkan, sementara si Rahmat yang sudah menjadi mentre tercatat keluarga miskin. Gajinya diatas 500 rebu perbulan. Mba hanya 90 rebu tiap minggunya. Ini, yang sebut bantuan untuk simiskin?”. Aku kehabisan kata.
”Sudah lah cung, dunia sudah rusak. Pemimpinnya banyak tidur pagi. Makanya jauh dari rizqi, tak dapat yang halal, eh, ngambil milik orang lain. Dulu, ketika Mba masih seusia kamu, kerupuk harganya 50 rupiah dapat 12 kerupuk, sekarang 100 rupiah dapat 1 kerupuk. Kita ini sebenarnya dijajah ya..?”” Kami diam, sepi. Biarkan pertanyaan itu, singgah ditempatnya.
###

Dengan menggendong segudang rundung penyesalan, menahan buncahan amarah, kulesatkan diriku mengikuti arus pagi menelusuri desa Gersik Putih disisi jalan. Tak jarang kulemparkan senyum persaudaraan untuk jiwa yang lembut hatinya, pekerja garam itu mulai merangkak menceburkan kaki. Suara sapa menyapa terus bersahutan menambal derita pagi yang dibungkus senyum palsu.
Sinar surya semakin membuas, memaksa tangan menutupi kening. Sayup-sayup sebungkus suara menelisik mengikuti sepanjang jalan. Rupanya mantre berbaju resmi warna biru, sedang mengawasi pekerja. Giat sekali mereka, seakan tidak mempedulikan teguran matahari supaya berlindung. Setapak mantre itu melangkah disitulah ia menengok lembaran rapi seperti absensi. Benar, memang ia sedang mengabsen. Sama seperti anak sekolah saja..
Tiga puluh menit berlalu sang mantre sudah beranjak dari tempat bekerja, kuurungkan niat kembali kerumah karena saking panasnya.
”Pak, sudah ditinggal pekerja garam itu.?” Wajahku sedikit mengerut.
”Kerjaan sudah selesai Nak”. Jawabnya enteng.
”Kalau mereka ada yang pulang, gimana?”.
”Bukan urusan saya. Gitu aja kok repot”.
”Gaji bapak berapa.? Pasti diatas mereka kan?”.
”Kamu perlu apa?”
”Pak, kita sudah lepas dari kaum penjajah, sekarang kita merdeka. Coba kalau bapak ganti pakaian sebagai pekerja garam, apakah bapak mau digaji dibawah 100 ribu per minggu, apakah gaji segitu bisa membiayai anak dan istri bapak?”
”Itu kan urusan mereka, mereka mau digaji seperti itu. Tidak ada yang mengeluh”.
”Itu kan hanya pikiran enak bapak, mereka dijemur diterik matahari setiap hari tanpa istirahat, sementara bapak hanya nyorat-nyoret setelah itu pergi. Apakah bapak tidak mempunyai hati? Bisakah bapak makan enak tanpa garam. Seharusnya gaji mereka diatas pemerintah yang hanya duduk-duduk dikursi empuk”. Mantre itu, ngeloyor pergi, wajahnya kaku dan pucat.
”Sungguh sulit mencari hati yang bersih di zaman sekarang”. Cetusku.
Belum sempat ayam berkokok puas, hujan deras mengguyur pagi, menjadikan pagi terbungkus malam hingga urat syaraf yang biasanya dipaksa bergerak, kehilangan langkah. Sepi, sangat sepi hari ini. Memang sekarang cuaca tidak menentu, sudah  delapan bulan tidak hujan, dan dapat dikatakan sangat tidak mungkin hujan akan turun pada bulan ini, tapi tak disangka tanpa terlihat datang hujan deras.
Hujan itu tinggal gerimis, saat matahari menampakan sayapnya. Tapi, suasana ditempat kerja garam tetap sepi. Lambat laun, kuhampiri Mba, dia menitiskan air mata.
”Mba, sampean menangis?”.
”Tidak”.
”Lalu kenapa Mba biarkan air mata menetes?”
”Cung, garam adalah sumber kehidupan masyarakat satu-satunya pekerjaan disini”. Mba menghentikan tangisnya. Aku mengerti kemana arah keluhan itu. Garam  dibabat habis oleh hujan malam. Masyarakat kami, hanya bisa pasrah pada keadaaan. Rabb engkaulah pelabuhan hati.
Cat.
Mba           : Kata ganti sebutan kakek
Ngaot         : Bahasa madura yang artinya menumpuk garam kepinggir dari tengah yang telah jadi dengan memakai alat.
Mantre       : Pengawas yang bertugas mengabsen pekerja garam. Seperti halnya penjaga lalu lintas.
Cung          : Panggilan orang tua kepada yang lebih muda sebagai tanda sayang.
Caddheng : Alat penutup kepala yang lebar.
Talangan   : tampat segi empat yang berfungsi membuat garam.

Sabtu, 29 Januari 2011

Manusia Sarjana atau Sarjana Intelektual?

Opini Basyar Dikuraisyin

Perguruan Tinggi di Indonesia kembali melepaskan ‘produk-produk’ kampus dengan merk anyar yang disandangnya; sarjana. Termasuk di Yogyakarta -UIN Sunan Kalijaga-, kamarin Kamis 30 Desember membai’at labih dari 50 sarjana. Hampir setiap hari, setiap bulan, setiap tahun, kampus-kampus baik negeri maupun swasta melahirkan diploma, sarjana hingga master. Negeri ini, benar-benar dipenuhi manusia berpendidikan bergelar sarjana. Namun disaat yang bersamaan, negara makin kacau, -mungkin- akibat resonansi keilmuan yang begitu sesak.
Secara sistematik jumlah sarjana semakin meningkat. Badan Pusat Statistik melakukan survei tenaga kerja setiap Februari dan Agustus tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, pengangguran dengan gelar sarjana sekitar 12,59%. Dengan ini, secara tidak langsung jumlah sarjana pengangguran mencapai 2,6 juta orang. Jumlah terbesar bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Realitas ini, semakin membenarkan statemen yang mengatakan “mahasiswa adalah calon pengangguran”. Tiap kali lahir sarjana-sarjana baru, bertambah juga pengangguran. Ini disebabkan ketergantungan sarjana kepada pekerjaan yang telah ada. Keilmuan mereka ‘ditawarkan’ keberbagai institusi perusahaan. Jika ‘harga jual’ tidak memberikan potensi kepada institusi tersebut, bersiap-siaplah mengisi table identitas sebagai sarjana pengangguran.
Sarjana adalah gelar yang dicapai mahasiswa setelah menamatkan pendidikan di PT, sedangkan intelektual atau cendikiawan –meminjam istilahnya Cak Nor-, adalah seseorang yang cerdas, berfikir dengan berlandaskan ilmu pengetahuan. Seorang sarjana harus mampu berkiprah secara partisipatif dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya dengan memberikan respon dan ikut bertanggungjawab dalam menangani berbagai masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan moralitas kebangsaan.
Pakar pendidikan seperti John Lock, meneriakkan agar mahasiswa menjadi interpreneur. Sehingga, banyak PT yang konsentrasi dibidang wirausaha. Akan tetapi, disisi lain, konsep ini banyak dikritik, karena mengarahkan mahasiswa untuk menjadi “budak-budak kantor”. Akan tetapi, dari dua persepi ini, pada hakikatnya mengandung kesamaan tujuan, yaitu menjadikan mahasiswa sebagai agent sosial yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat. Dua pandangan ini juga memiliki pengertian; pendapat pertama menginginkan mahasiswa mengembangkan wadah yang sudah ada, sedangkan pendapat yang kedua menginginkan mahasiswa menjadi pemula, pencetus dan pelopor untuk menciptkan lapangan kerja.
Pada hakikatnya, secara kritis memandang dua perbedaan persepsi diatas terikat dalam samudera pengetahuan formal dan substansial. Pengetahuan formal, diakui kapasitasnya dengan ditandai kesarjanaan, sedangkan pengetahuan substansial diakui dengan intelektualitas yang mumpuni, selaras dengan status formal yang disandangnya. Kedua corak pengetahuan ini tidak selamanya bersandang. Adakalanya, sarjana tanpa penyetaraan intelektual, juga intelektual tinggi tapi belum sarjana atau bukan sarjana.
Di Indonesia, banyak ditemui kesarjanaan tidak dibarengi kemampuan intelektual yang selaras. Sarjana hanya menjadi simbol berakhirnya jenjang pendidikan, namun bukan tanggung jawab insan berpendidikan. Bangga setelah berhasil meraih gelar sarjana yang menjadi tujuan perkuliahan, kendati ‘sarjana intelektual’ belum pantas disandang.
Menurut Eko Presetyo dalam bukunya Orang Miskin Tidak Boleh Sekolah, intelektual diartikan pengetahuan komprehensif yang dapat memberikan nilai, solutif dan sumbangtif bagi bangsa dan negara. Dengan perangkat intelektual inilah, problema masyarakat, konflik bangsa dan negara dapat terselesaikan. Secara tidak langsung, sarjana dituntut terjun langsung kemasyarakat atau pemerintahan untuk memanfaatkan keilmuan yang telah dimiliki. Dan keberadaannya, diharap mampu menyelesaikan segala masalah sekaligus mengukuhkan kesejahteraan.
Jika tuntutan ini gagal, status kesarjanaannya perlu dipertanyakan. Kampus bukan badan produk sarjana-sarjana legal-formal, melainkan sarjana-sarjana intelektual yang diharap mampu memberikan konstribusi terhadap negeri ini. Jika kemudian, kesarjanaannya belum memberikan apapun, penulis rasa perlu kembali kepada status mahasiswa, belajar lagi dan terus belajar.
Bagian dari keberhasilan sarjana itu juga, adalah mampu menciptakan lapangan kerja, mampu memberikan ruang pekerjaan dan bisa mengurangi jumlah kemiskinan negeri ini. Meledaknya jumlah pengangguran setelah sarjana, sebagai akibat dari kekeringan intelektual. Pantas kiranya, kalau Paulo Freire mengistilahkan sarjana yang nganggur sebagai “manusia bisu yang bingung”.
Hal ini dipengaruhi oleh kultur persepsi-absolut yang menghantui mahasiswa. Menurut pesepsi tersebut, sarjana yang sukses harus duduk dipemerintahan, perusahaan dan kedudukan lainnya. Hingga terjun kedunia rakyat kecil dengan memberdayakan SDM, menciptakan ide-ide konstruktif, terasa gengsi bagi sarjana. Wajar, menunggu “bangku kosong” diwilayah kedudukan tinggi terus dicari, imbasnya pengangguranpun rela dijalani. Sudah saatnya para sarjana di Indonesia berfikiran out of the box; keluar dari kebiasaan lama yang beranggapan setelah jadi sarjana selanjutnya melamar jadi karyawan khususnya PNS.
Padahal, itulah tugas sarjana; memberdayakan rakyat, memanfaatkan SDA yang ada serta membangun kekayaan yang dimiliki nusantara. Seperti Phitagoras misalnya, yang berhasil mencetuskan namanya sebagai ilmuan yang menemukan mesin pemompa air. Meski penemuannya sedernaha, namun sumbangsihnya terhadap dunia tidak bisa dianggap remeh.
Jadi, sudah waktunya sarjana memberikan sumbangsih bagi negeri ini baik diterm bawah ataupun dipemerintahan. Sarjana intelektual adalah sarjana yang mampu berbuat banyak untuk masyarakat dan negeri ini. Bukan sarjana yang diam, terkungkung dalam penjara kecil; pasif, stagnan dan tidak tau apa yang harus dikerjakan.


*Penulis adalah Direktur Utama IMAGE

Rabu, 26 Januari 2011

SUARA SEORANG AKTIFIS


Oleh: AH. Wahyudi Jum*

Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, korupsi atau tidak, yang terpenting bagiku dia telah berjasa. Tiap saat aku selalu berbikir, kenapa orang-orang selalu sibuk memikirkan siapa dia tentang pemerintah, bukan apa saja jasa dia. Tidakkah orang-orang menyadari, bahwa pemerintah (para penguasa) juga seorang manusia yang memiliki kompleksitas kecenderungan sebagaimana desain Tuhan? Dan arah kecenderungan tersebut bukankah hal yang bersifat manusiawi?
Aku tidak menyalahkan orang-orang diluar sana yang sibuk mengurus kasus korupsi, apalagi membenarkan penguasa yang koruptor, tidak, bukan itu maksudku. Maksudku, jika benar korupsi sudah membudaya atau menjadi epidemi yang sukar disembuhkan, kenapa tidak berpikir untuk konsentrasi pada pemberantasan yang sebenarnya menjadi akar dari pada korupsi? Dan bagi mereka yang (merasa) korup,   jika memang menjadi tabi’at atau hobi yang sukar dihilangkan, mengapa tidak berani menjadikan korupsi sebagai motivasi? Ya motivasi, motivasi untuk membangun negeri ini. Bukan mengerogoti negeri bagai rayap, atau mencuri bagai tikus, tapi mencurilah seperti ayam mencuri barang pemiliknya. Sebesar apapun yang dicuri oleh ayam, ujung-ujungnya demi orang yang dia curi juga; biar gemuk dan enak dimakan. Jika bisa seperti itu, aku berpikir rakyat tidaklah keberatan untuk mengikhlaskan korupsi. Tapi sayang beribu sayang, mana ada orang seperti itu sekarang. Hare gini. Pikirku.

Di suatu pagi...
 “pemirsa, kasus korupsi oleh pejabat...” zep! “korupsi sebesar...” zep! “markus, atau makelar kasus yang...” zep!...
“kenapa? kenapa kamu ubah terus cahnnelnya?” Tanya temanku, Irfan, agak jengkel sedikit marah karena channelnya aku ubah terus.
“Menurutmu, seberapa pentingkah kasus korupsi kawan...? ” tanyaku. Aku tidak berpikir dia marah atas tingkahku atau tidak, berita memang program favoritnya. Tapi entah mengapa aku seperti sudah mencapai titik kejenuhan. Aku merasa tidak ubahnya seperti saat menonton acara smack down di Lativi dulu. saling bantai semua. Kejam!!! Tapi siapa yang kejam? Dan siapa yang dikejamin? Semuanya mencari kambing hitam seolah hendak berkata secara angkuh Dialah yang bersalah, dan  Akulah kebenaran itu.
Sepertinya Irfan masih mencari-cari jawaban tentang apa sebenarnya maksud dari pertanyaanku. Mungkin dia berfikir kok bisa aku yang dia anggap aktifis bertanya semacam itu. Bukankah kasus korupsi saat ini menempati posisi tertinggi di negara kita dan bisa menjadi bahan orasi lapangan ketika demo. Namun, sebelum Irfan sempat memberikan komentar, akupun sudah mendahuluinya.
“Apa arti korupsi, jika bisa menjadikan negara ini mampu berdiri kokoh diantara negara-negara lain? Apa arti korupsi, jika dengan korupsi pemerintah mampu ‘merawat’ negeri ini dengan baik? Apa pula arti korupsi, jika korupsi menjadi faktor utama yang mampu memotivasi para penguasa untuk memajukan negeri ini? Korupsi hanya perkara kecil untuk ukuran negeri kaya ini kawan...  Yang penting, pemerintah bisa mejalankan tugas utama mereka menjadi wakil yang benar-benar mewakili rakyat”. Tapi, benarkah mereka bisa? Benarkah”? batinku menentang.
“eh, aku pergi dulu kawan, sampai jumpa!”
“mau kemana? Tunggu dulu aku belummm... akuu...wooy...!!!”
Akupun pergi meninggalkan Irfan tanpa menghiraukan pertanyaan dan komentar balik dari dia. aku tidak mengerti kenapa sekarang bisa setega ini pada dia. Meninggalkannya secara mendadak sementara hasrat hendak berkomentar balik. sungguh tidak biasa. Di hari biasanya, setiap aku mengajak Irfan bicara atau diskusi, berjam-jampun bisa terjadi. Tapi kali ini? entahlah. Pikirku.
* * *
Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, artis atau bukan, cacat moral atau tidak, yang terpenting bagiku dia bisa kenapa tidak. Negeri ini bukan persoalan agama yang perlu syarat muluk-muluk. Negeri ini butuh orang yang bisa, bukan orang yang biasa. Biasa bergelut di dunia politik, atau biasa bergelut di dunia yang sehat moral bukan berarti bisa menjadi jaminan masa depan negeri ini.
Orang boleh mengatakan, pemilu saat ini diwarnai politik demam artis, politik asal-asalan yang berlandaskan pada realitas siapa bisa mencalonkan siapa. Sekalipun siapa tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. ini merupakan suatu kondisi dimana nilai-nilai daripada demokrasi sudah mulai dilacurkan.  Mungkin itu benar, tapi haruskah dipermulutkan? pemimpin nergeri ini bukanlah persoalan siapa berlatar belakang apa, tapi siapa bisa berbuat apa. Apa yang bisa diperbuat bukanlah persoalan latar belakang.  Latar belakang bukan masalah besar yang perlu diperdebatkan. Masalah besar kita yang sesungguhnya adalah terletak seberapa bisa kita tidak saling ‘membantai’.
Hiruk pikuk kerumunan massa ku lihat terjadi persis 50 meter di depan tempatku berjalan, perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta. Unjuk rasa, ya saya kira unjuk rasa lagi. Perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta memang menjadi tempat favorit para Mahasiswa dalam melakukan aksi komunikasi politiknya, unjuk rasa. Selain ramai, disana juga merupakan tempat strategis dimana banyak pekerja media nongkrong. Sangat cocok untuk efektifitas orasi mahasiswa yang berdemo. Karena dengan sorotan media, tidak hanya di yogyakarta, seluruh indonesiapun dapat mendengarkan ‘suara mahasiswa’ tersebut. Perlahan tapi pasti, aku mencoba mendekati kerumunan Mahasiswa itu, ingin tahu isu-isu apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan.
“...Kami, sebagai mahasiswa dan sebagai rakyat indonesia mengutuk para koruptor, Markus...” “...Alangkah ironis negeri ini, disaat krisis moral melanda seluruh aparatur negara, para partai Politik dengan pe-de-nya mengusung figur-figur calon pememimpin penyandang cacat Moral...” dengan berapi-api dan semangat kepemudaan ku dengar suara salah seorang pemuda penyampaikan orasinya. Panasnya terik Matahari siang seakan tidak berarti sama sekali dibanding api semangat yang sedang berkobar di tubuh sang pemuda itu. Begitu pula massa, terus bersorak-sorai sambil mengamini apa yang disampaikan oleh sang orator. Huuh...isu itu lagi. tiadakah yang lebih penting dan berguna yang dapat dilakukan?
Sudah cukup tahu tentang aksi yang mereka lakukan. Akupun pergi berjalan menyusuri Alun alun utara Kota Yogyakarta yang terletak persis disebelah selatan Kantor Pos besar. Entah apa yang ku cari disana, akupun tak mengerti. Hasratku cuma ingin berjalan, berjalan, dan berjalan. Barangkali ku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik dari pada sekedar mendengarkan hiruk pikuk isu-isu perpolitikan negara yang begitu menjenuhkan. Politik kambing hitam yang saling membantai, sampai kapan? Entah sampai titik mana keadaan ini akan berhenti.
Sudah komplit penyakit yang diderita negeri ini. Oh, kasihan kau Indonesia, tanah airku, tanah kelahiranku... Engkau gemuk, tapi engkau dibuat kurus dalam kegemukan itu. Engkau sebenarnya bisa memberikan sebanyak mungkin yang kita butuhkan, tapi engkau telah dipaksa untuk tidak memberikan itu. sesalku dalam hati. Tapi apa yang bisa ku perbuat? Orang bilang aku aktifis, namun haruskah terbebani dengan isu-isu politik yang sebenarnya akan semakin menyeret kita pada jurang kebobrokan moral yang lebih dalam lagi? Ya, akan lebih dalam lagi. Masyarakat akan semakin pandai,  Mahasiswapun, bibit unggul bangsa akan semakin pandai. pandai ‘berpolitik’, pandai menipu, pandai menjadi markus, dan pandai-pandai tidak terpuji lainnya.
Lelah berjalan, ku cari tempat berteduh di sekitar alun-alun. Celingak-celinguk kiri kanan, akhirnya disebuah pohon besar aku berhenti, dan duduk beristirahat dibawahnya, teduh sekali. beberapa menit berlalu, aku hanya terdiam beristirahat tanpa berbuat apa-apa. Karena ku rasakan begitu hampa, ku keluarkan balpoint dan beberapa lembar kertas yang biasa ku bawa dalam beraktifitas sehari-hari. Aku tulis apa saja yang terlintas dalam pikiranku saat ini, aku tulis apa saja yang hendak ku curhatkan pada lembaran-lembaran kertas putih ini. Aku lampiaskan seluruhnya, ya, aku lampiaskan. Hingga tanpa terasa tulisan-tulisan tersebut sudah membentuk sebuah tulisan opini yang kalau diketik ke komputer aku perkirakan 3.000 sampai 4.000-an karakter. Aku hampir tidak menyangka, biasanya aku butuh berjam-jam untuk nulis serampung ini. Ya sekalipun belum sempurna.
Melihat sinar mentari sudah mulai semakin petang, aku bergegas hendak pulang.  Ya, aku harus pulang. Aku harus mengetik tulisan ini, aku harus ketik. Dan tentunya, harus  ku kirim ke Media, ya harus ku kirim, dan harus dimuat, harus. Ini suaraku, suara seorang aktifis yang sudah jenuh dengan hiruk pikuk percaturan politik yang begitu menjenuhkan. Masyarakat harus memikirkan hal-hal yang lebih penting. Masih banyak ‘dimensi lain’ dari negeri ini yang lebih penting untuk dipikirkan. Pendidikan, anak-anak, dan..dan...ya masih banyak. Pikirku bergejolak. Namun... bruaaaakkkkkkkkk!!!
Sakit, sakit sekali, kepalaku berputar, semuanya terasa berat, berat. Ku pandangi sekitar, samar-samar ku lihat banyak orang, banyak sekali. Terasa diriku seakan hanya menyisakan nafas yang tidak cukup untuk mengeluarkan banyak suara. Ku pengang tangan salah seorang kerumunan yang entah siapa dia. Aku tidak jelas melihatnya. Aku ingin mengungkapkan sesuatu, aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku sudah tidak kuasa lagi, hingga akhirnya...perlahan terasa berat, semakin gelap, hingga... Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...gelap. (lihat juga: kompasiana.com/the_udiezindonesia)

* * *
Yogyakarta, 29 April 2010

DI TEMPAT NONGKRONG, BELAJAR LEBIH “BERTENAGA”

Oleh: Herman Wahyudi*)

Nongkrong merupakan salah satu kebiasaan yang bisa dibilang sudah menjadi tradisi di Yogyakarta. Saat ini, hampir di seluruh sudut kota Yogyakarta di penuhi oleh puluhan bahkan ratusan tempat nongkrong yang tersebar di beberapa tempat seperti  pinggiran Kali Code, sebelah utara Stasiun Tugu dan sejumlah warung kopi atau kedai yang bertebaran di pinggir-pinggir  jalan.

Secara historis, tempat-tempat nongkrong di Yogyakarta konon sudah ada sejak Tahun 1960-an. Salah satu tempat populer yang biasanya menjadi pilihan pada waktu itu adalah terletak di sepanjang Jl. Malioboro –sebelum dijadikan areal pusat kegiatan bisnis dan wisata. Bahkan pada tahun 1980-an, seperti dikutip oleh majalah Sinergia edisi April-Mei 2009 di Yogyakarta sudah ada dua kelompok studi besar, yakni kelompok studi Talakan yang di motori oleh Guenardi Kornel Kosmos dan Edi Nugroho, Limted Group dan kelompok Teknosofi yang kesemuanya itu lahir dari inspirasi kolektif (inspirasi yang lahir dari basis kebersamaan) dari sebuah lesehan bernama tempat nongkrong.

Dari tradisi nongkrong pula, tokoh-tokoh intelektual terkemuka dan seniman besar seperti – diantaranya – Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun, dan H.A. Mukti Ali dilahirkan. Sederhana namun penuh inspirasi. Itulah kiranya kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa tradisi nongkrong ini memang cukup memiliki arti penting dalam memberikan nuansa hidup serta pengaruh bagi siapa saja yang gemar nongkrong. Positif dan tidaknya pengaruh tersebut sudah barang tentu tergantung sejauh mana para penikmat nongkrong mampu memposisikan kebiasaan nongkrong tersebut pada posisi yang tepat berdasarkan asas manfa’at dan mudharat –bukan sebatas mencari kesenangan.

Tidak seperti pada zaman-zaman dahulu yang serba sederhana, dewasa ini, di beberapa tempat nongkrong sudah banyak yang menyediakan fasilitas serba lengkap – untuk ukuran nongkrong– termasuk  hotspot area (baca; fasilitas internetan). Suatu kenyataan yang tentunya sejalan dengan semakin majunya peradaban dunia dibidang teknologi  informasi. Dengan hanya secangkir kopi, fasilitas hotspotpun bisa dimanfaatkan oleh para pengunjung. Dan pengunjung dapat mengakses apapun yang diinginkan. Namun hal tersebut bukan berarti telah menghilangkan seutuhnya ke-tradisional-an tempat nongkrong, karena tidak sedikit pula warung, kedai ataupun lesehan tempat nongkrong yang masih belum hijrah dari nuansa-nuansa tradisionalnya. Terutama yang terletak ditempat-tempat nongkrong yang biasanya di gelar secara lesehan, seperti di pinggiran Kali Code, sebelah utara Tugu, dan sebagainya, sekalipun suasana bising dunia modern tetap saja tak terbantahkan.  

Ditengah semakin lengkapnya fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh tempat-tempat nongkrong di Yogyakarta itu, sudah pasti hal tersebut menjadi nilai plus dari pada nongkrong. Namun, melebihi segalanya, kebersamaan dan rasa persaudaraan antar sesama adalah tetap menjadi suatu nilai utama yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Karena dari kebersamaan lah suatu kekuatan besar yang bersumber lewat inspirasi kolektif bisa muncul. Sebuah maha karya bisa saja lahir dari tempat-tempat nongkrong. Jika tempat-tempat nongkrong zaman dahulu saja yang serba sederhana mampu melahirkan sosok seperti Cak Nun. Bukanlah suatu hal mustahil jika pada saat sekarang –yang serba lengkap– tempat-tempat nogkrong beberapa (puluh) tahun kedepan akan melahirkan Cak Nun-Cak Nun lain dalam jumlah yang lebih fantastis. 

Dengan catatan, sebisa mungkin para penikmat nongkrong menjadikan tempat-tempat nongkrong sebagai ruang pendidikan kolektif disamping juga kebersamaan dan persaudaraan. Agar aktifitas nongkrong menjadi lebih “bertenaga”. Dengan kata lain, menumbuhkembangkan kembali yang esensi dari pada aktifitas nongkrong yakni NDP (Nongkrong, Diskusi, dan Pencerahan atau inspirasi). Bukan sekedar duduk-ngopi namun tanpa melakukan suatu kegiatan yang berarti. Karena haI tersebut sama saja dengan menghambur-hamburkan uang ala kaum hedonis. Itulah yang penulis sebut dengan istilah “posisi yang tepat” tadi.
*)Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Pimpinan Redaksi Majalah "SINERGIA" dan Koordinator umum LKSY.


Countaq person penulis: 087850268719/bungshu_89@yahoo.co.id